Di bulan-bulan seperti ini, biasanya ada satu moment yang selalu ditunggu-tunggu, entah itu orang tua maupun seorang anak, yang ditunggu-tunggu adalah yaitu buku raport.
Setelah selesai membaca buku raport, ada dua sikap sebagai reaksi dari orang tua. Pertama, adalah sikap senang dan bangga karena mendapati nilai-nilai sang anak bagus-bagus sedangkan yang kedua, adalah kecewa dan resah karena mendapati nilai-nilai sang anak mengecewakan. Sikap-sikap demikian adalah bukti kepedulian orang tua terhadap perkembangan pendidikan sang anak. Akibat dari sikap-sikap tersebut biasanya orang tua yang senang dan bangga karena nilai sang anak yang bagus-bagus akan memberi hadiah sebagai apresiasi sedangkan untuk orang tua yang kecewa dan resah karena nilai-nilai sang anak mengecewakan akan menghimbau sang anak agar lebih rajin belajar, bahkan ada yang memerintahkan sang anak untuk mengikuti les private atau bimbingan belajar.
Kebanyakan dari orang tua menginginkan agar nilai-nilai sang anak dalam raport harus bagus-bagus semua.
Sedikit pemahaman tentang nilai dalam buku raport, nilai dalam buku raport adalah hasil evaluasi salah satu tahap dari banyak tahapan lain dalam sebuah proses yang panjang yaitu proses pendidikan. Sedangkan proses pendidikan khususnya pendidikan formal hanyalah sebagian dari proses pencarian bekal dalam mengatasi tantangan di masa depan.
Dari pemahaman diatas, saya memiliki sikap dan reaksi yang berbeda dari orang tua kebanyakan.
Beberapa hari yang lalu, saya merasa senang dan bangga karena anak saya mendapat piala sebagai bintang kelas, itu saya anggap sebagai bonus. Karena saya tidak mentargetkan itu. Dan tidak akan mentargetkan untuk kedepannya anak saya harus mendapat prestasi lagi. Mengapa demikian?
Saya pernah membaca buku tentang "multiple intellegences" atau kecerdasan majemuk. Bagi anda yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai multiple intellegences ini anda bisa browsing di internet.
Dari apa yang pernah saya baca, saya jadi tahu bahwa pada dasarnya setiap anak itu cerdas.
Menurut Howard Garder kecerdasan didefinisikan sebagai :
- Kemampuan memecahkan masalah yang muncul dalam kehidupan nyata.
- Kemampuan melahirkan masalah baru untuk dipecahkan.
- Kemampuan menyiapkan atau menawarkan suatu layanan yang bermakna dalam kehidupan kultur tertentu.
Macam-macam kecerdasan, diantaranya :
- Kecerdasan linguistik ( Linguistic intellengence ).
- Intelegensi logis-matematis ( Logical matematich ).
- Intelegensi musik ( Musical intelegence ).
- Intelegensi kinestetik.
- Intelegensi visual-spasial.
- Intelegensi interpersonal.
- Intelegensi intrapersonal.
- Intelegensi naturalis.
- Intelegensi emosional.
- Intelegensi spiritual.
Kemampuan-kemampuan yang termasuk dalam sepuluh aspek kecerdasan majemuk ( multiple intellegences ) yang dimiliki masing-masing orang merupakan potensi intelektual seseorang untuk dapat mengikuti proses pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu proses pengembangan kognitif, psikomotor dan afektif ketika seseorang berada pada lingkungan. Menurut Depdiknas ( 2004 ) pembelajaran adalah pengembangan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap baru pada saat seseorang berintegrasi dengan informasi dan lingkungan.
ilustrasi :
Waktu kecil.
Jika saya melihat anak saya ( Timothy ), anak saya suka menggambar, mewarnai. Berarti anak saya memiliki intelegensi visual-spasial yang lebih dibandingkan kecerdasan yang lainnya. Maka sebagai orang tua, saya memotivasi dan memfasilitasi kecerdasan tersebut. Mungkin anak saya memiliki minat yang sama dengan pekerjaan ayahnya. Bisa dibilang, hasil menggambar dan mewarnai anak saya diatas rata-rata anak seumurnya... Asal jangan dibandingkan dengan ayahnya, kalau dibandingkan dengan mama-nya... bolehlah hehehehe......
Waktu Remaja
Waktu anak saya memasuki Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) ada pelajaran yang bagi anak saya mengalami kesulitan yaitu pelajaran bahasa daerah. Sebagai orang tua saya hanya bilang "Timothy, usahakan pelajaran bahasa daerah mendapat nilai enam, itu sudah cukup. Tapi pelajaran lain seperti menggambar usahakan mendapat nilai bagus." Kenapa pelajaran bahasa daerah harus mendapat nilai enam? karena untuk bisa naik kelas ke kelas berikutnya nilai pelajaran bahasa daerah minimal harus mendapat nilai enam, maka untuk pelajaran bahasa daerah mendapat nilai enam itu sudah cukup. Jika begitu, tidak bisa ranking atau peringkat kelas? itu tidak apa-apa, seperti saya katakan diawal bahwa ranking atau peringkat kelas itu saya anggap bonus.
Setelah Dewasa
Setelah anak saya dewasa, anak saya sudah bekerja, dan bekerja di perusahaan internasional. Di perusahaan tersebut bosnya adalah orang kebarat-baratan ( Westernized people ). Dari situ saya tidak kuatir dengan nilai raport anak saya yang pelajaran bahasa daerahnya enam. Si bosnya tidak mungkin berkata :
- "Timothy, saya minta tolong nanti kamu presentasikan design kamu dengan bahasa daerah, oke....! dan satu hal lagi proposalnya kamu tulis dengan aksara jawa, oke.....!" ( dengan logat kebarat-baratan = westernized accent ). Silahkan browsing di internet apa itu aksara jawa.
- Anekdot...... Bos bertanya, "Timothy, apa betul itu anak gajah?." Timothy menjawab, "benar mister, anak gajah itu namanya bledug." Bos bertanya lagi, "sejak kapan anak gajah itu punya nama?." Timothy menjawab lagi, "sudah sejak lama mister." Bos bertanya lagi karena penasaran, "siapa yang bilang? kata pemiliknya?." Jawab Timothy dengan yakin, "tidak mister, saya sudah tahu sejak saya masih kecil... waktu di sekolah dulu." Bos berhenti bertanya, tetapi bertanya dalam hatinya sendiri, ( sungguh aneh... Timothy sudah tahu nama anak gajah sejak dari dulu waktu kecil? berarti itu bukan anak gajah! mana mungkin anak gajah yang kecil itu umurnya lebih dari sepuluh tahun! apakah gajah itu cebol? terus katanya lagi, kalau Timothy sudah tahu namanya waktu di sekolah dulu? memangnya ada anak gajah sekolah? aku jadi bingung...!!! apakah mungkin ini jawabannya...!, mungkin Timothy sudah melihat anak gajah itu sebelumnya, lalu dia mendekati anak gajah itu, tidak jauh dari anak gajah itu ada pemiliknya, pada saat Timothy menanyakan nama anak gajah itu kepada pemiliknya, lalu tiba-tiba...... bleeeeeduuuuuug..!!!. Ternyata anak gajah memukul Timothy dengan belalainya hingga jatuh. Akibatnya Timothy hilang ingatan...?..!!!! )
Bagaimana dengan ilustrasi saya, apakah masuk akal? kalau tidak masuk akal, ada satu kisah lagi, ini kisah nyata ( true story ).
Mungkin semua orang tahu siapa penemu bola lampu? ya... Thomas Alva Edison. Dia adalah orang yang berjasa atas penemuannya. Bagaimana kalau bola lampu tidak ditemukan sampai sekarang, bahkan tidak itu saja Thomas Alva Edison juga membuat penemuan-penemuan yang lainnya seperti penemuan mesin telegraf yang lebih baik dari penemuan sebelumnya, gramofon, proyektor untuk film-film kecil.
Tetapi tidak banyak yang tahu bagaimana masa kecilnya Thomas Alva Edison.
Tetapi tidak banyak yang tahu bagaimana masa kecilnya Thomas Alva Edison.
Ia lahir pada tanggal 11 Pebruari 1847 di Milan, Ohio, Amerika Serikat. Pada masa kecilnya Thomas Alva Edison selalu mendapat nilai buruk di sekolahnya. Di waktu itu, gurunya sering memarahi dan mengejeknya dengan ; "Seorang murid yang terlalu bodoh untuk mempelajari apa saja." Ia seringkali dipanggil dan mendapat julukan bocah idiot oleh guru dan teman-temannya.
Waktu ia pulang dari sekolah, Thomas Alva Edison membawa secarik kertas dari gurunya. Ibunya kemudian membaca kertas tersebut; "Tommy, anak ibu, sangat bodoh, kami minta ibu mengeluarkannya dari sekolah." Sang ibu terkejut, akhirnya ia bertekad, "Anak saya Tommy, bukan anak bodoh. Saya sendiri yang akan mendidik dan mengajar dia."
Itu adalah sekilas kisah dari Thomas Alva Edison yang masa kecilnya dianggap bodoh, idiot dan senang berimajinasi disekolah. Tapi sekarang Thomas Alva Edison dijuluki "Bapak Penerang Dunia".
Sang ibu membuat proses belajar lain daripada yang lain ( sekarang dinamakan home scooling ) yang mengalahkan proses belajar mengajar yang sampai sekarang masih dipakai yaitu model pembelajaran konvensional. Model pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar dikelas. Kegiatannya adalah proses belajar mengajar yang lebih sering diarahkan pada aliran informasi dari guru ke siswanya, guru lebih memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan kepada para siswa tanpa memperhatikan prakonsepsi ( prior knowledge ) siswa atau gagasan-gagasan yang telah ada dalam diri siswa sebelum mereka belajar secara formal di sekolah. Bagi saya, model pembelajaran konvensional adalah proses enam tahun di SD, tiga tahun di SLTP dan tiga tahun di SLTA, untuk memanasi bangku di sekolah, sehingga pada saat kuliah sering titip absen, karena sudah bosan memanasi bangku di sekolah.
Raport dan nilai di raport sudah saya bahas menurut opini dan pengetahuan saya, dan sekarang saya terapkan dalam pendidikan anak saya, apabila anak saya mendapat ranking, itu saya anggap bonus. Kenapa saya anggap bonus itupun sudah saya jelaskan diatas.
Semenjak Depdiknas pada tahun 2004 mengatakan bahwa pembelajaran adalah pengembangan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap baru pada saat seseorang berintegrasi dengan informasi dan lingkungan.
Maka sejak saat itu pencantuman ranking atau peringkat kelas tidak harus dicantumkan, proses belajar mengajar mulai mengalami perubahan, bahkan tidak itu saja sejak saat itu sekolah-sekolah mulai mengurangi jumlah murid dalam satu kelas yang biasanya lima puluh murid menjadi maksimal dua puluh lima murid. Dengan tujuan agar guru bisa mengetahui perkembangan kognitif, psikomotor dan afektif siswanya. Namun perubahan sistem pendidikan ini kurang dipahami oleh orang tua murid, sehingga selalu minta dan tanya tentang sang anak ranking atau tidak, atau tanya anak saya peringkat kelas ke berapa.
Pentingkah ranking?
Tidak penting, karena selain disebutkan diatas, ranking juga tidak bisa dipakai sebagai acuan. Saat kita mendapati anak kita memiliki ranking yang tinggi dikelasnya, bagaimana jika dibandingkan dengan nilai siswa-siswa di kelas lain, atau bagaimana jika dibandingkan dengan nilai siswa-siswa di sekolah lain. Hanya orang tua yang punya pikiran sempit dan dangkal saja yang menganggap ranking itu penting. Dengan tidak dicantumkannya ranking dalam raport adalah sebagai sebuah kemajuan. Reasoning dari itu adalah untuk memunculkan rasa kesadaran bahwa setiap anak itu istimewa. Anak yang pandai berhitung, belum tentu unggul di olah raga. Anak yang mahir di IPA, belum tentu merdu ketika diminta menyanyi di pelajaran seni suara. Ranking tidak selalu tentukan masa depan. Bagi orang tua yang memahami kecerdasan anaknya, juga para guru, tidak lagi terlalu mengagungkan ranking di raport sang anak, ranking hanya segelintir urusan yang menyangkut kecerdasan akademik. Di luar itu, ada tugas lain bagi para orang tua dan para guru untuk memacu urusan lain yang juga diperlukan di masa depan. Kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, life skills dan kemampuan bersosialisasi juga harus diasah sejak kecil bila ingin sang anak nanti sukses di kemudian hari.
ada beberapa artikel yang pernah saya baca yang mungkin bisa menjadi pemikiran bagi kita sebagai orang tua mengenai ranking, link-nya ada dibawah sini :
Akhir-akhir ini saya sedang membaca sebuah buku tentang menyambut Kurikulum 2013, yang diterbitkan oleh Kompas. Penulisnya adalah tokoh pendidikan - Forum Mangunwijaya VII. Kurikulum sekolah dapat diubah dan dikembangkan sesuai dinamika zaman. Karena itu, bukan hal yang luar biasa jika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) yang sekarang ini diganti oleh Kurikulum 2013. Persoalannya, apakah mengotak-atik kurikulum merupakan sesuatu yang mendesak untuk dilakukan dalam konteks, kondisi dan problematika pendidikan di Indonesia saat ini?. Menurut berita yang saya dengar, bahwa Kurikulum 2013 adalah penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum yang sekarang. Untuk itu apabila ada waktu dan ada sesuatu yang bisa saya share-kan maka nanti akan saya share-kan.
Artikel saya yang lain :
Semua Buku Sekolah Anakku, Hanya dalam Sekeping Gadget ( Tablet )
Artikel saya yang lain :
Semua Buku Sekolah Anakku, Hanya dalam Sekeping Gadget ( Tablet )
No comments:
Post a Comment